Menyelami Puisi

Menyelami Puisi
Oleh
Samuel Leonardi

Puisi, puisi, puisi. Membaca puisi, mendengar puisi, menghayati puisi, apa-apa puisi, puisi di mana-mana, di mana-mana puisi. Bahkan di ujung jalan esai ini, Kawan, terdapat sebuah telaga puisi yang katanya bisa memanjakan Anda bahkan sampai bikin lupa pulang. Bila berkenan, saya akan menemani perjalanan Anda menemukan telaga itu. Tetapi sebelum berangkat dan sampai pada jalan setapak paragraf berikutnya, marilah kita berdoa dengan mempertanyakan dalam kesunyian masing-masing: apa makna puisi; bagaimana wujud puisi; sejauh mana mengenal puisi; untuk apa puisi; mengapa puisi, dan puisi, puisi, puisi.

Puisi adalah Puisi Itu Sendiri
Langkah kaki pertama. H.BJassin mendefinisikan bahwa puisi merupakan “sebuah pengucapan dengan sebuah perasaan yang di dalamnya mengandung sebuah pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan”. Tanggapan-tanggapan yang dimaksud ialah respons yang lahir dari kepekaan seorang penyair terhadap situasi lingkungan sekitar. Bagaimana pula kecendekiaan penyair mengungkapkan perasaannya dengan media kata mesti dipertimbangkan. Kata-kata mestilah dipilah dan dipilih seketat mungkin agar puisi tidak mengalami kejanggalan logika bahasa sehingga pesan dikomunikasikan dan sampai pada masyarakat. Demikianlah tugas utama seorang penyair.

Bagi Sapardi Djoko Damono sendiri, puisi bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik-menarik ruap perasaan yang melimpah. Gejolak perasaan itu mesti dikendalikan dengan pikiran, dengan kualitas intelek. Maka setiap kata yang jadi pilihan penyair, mesti sedikitnya mengandung ambiguitas, meski kata-kata itu biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Jika Chairil Anwar menggali kata hingga ke putih tulang, SutardjiCalzoum Bachri membebaskan kata dari beban makna, maka Sapardi Djoko Damono: sebermula adalah kata/baru perjalanan dari kota ke kota// menjelaskan bahwa puisi adalah komposisi, bangunan, atau struktur. Bukankah kita tahu sajak “Kalian” milik SutardjiCalzoum Bachri hanya terdiri dari satu partikel: pun dan pada sajak “Luka”: ha ha. Demikianlah terdapat keterkaitan antar kata satu dengan kata lainnya. Begitulah puisi, kata-kata bergerak mencari ruang untuk menciptakan peristiwa dan baru memancarkan keberbagaian makna bila berada dalam sebuah konteks untuk ditafsirkan.

Untuk lebih memahami definisi “kata”, baik juga kita simak puisi:
KATA

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa

 Pelajaran Menulis Puisi
Telaga puisi masih jauh, Kawan. Tapi jangan tergesa-gesa untuk segera sampai. Mari kita simak puisi berikut:
PELAJARAN PERTAMA MENULIS PUISI
(Ahda Imran)

Yang kau perlukan adalah menyerukan makhluk halus
yang berdiam di balik kata-kata. Tapi kau hanya
akan mendapati kata-kata jika ia tahu kau mencarinya

Serulah dia tanpa ia mendengar suaramu

Frase makhluk halus yang berdiam di balik kata-kata bisa dianggap sebagai makna. Pelajaran pertama kita adalah menangkap makna yang bersembunyi di balik kata-kata. Namun, pada pernyataan Tapi kau hanya/akan mendapati kata-kata jika ia tahu kau mencarinya seakan-akan menunjukkan bahwa ketika kita tergesa-gesa untuk menemukan makna yang bersembunyi di balik kata-kata, kita justru hanya akan menemukan ketiadaan. Sebab “makhluk” bernama puisi itu hidup dan ia tahu apa-apa saja yang akan kita lakukan padanya. Pada Serulah dia tanpa ia mendengar suaramu terkesan sangat paradoks. Bagaimana mungkin kita memangil dengan suara lantang, tetapi haruslah tidak ia dengar. Rupanya, ada cara berseru lain dengan suara yang tetap takkan terdengar: menulis.

PELAJARAN KEDUA MENULIS PUISI
(Ahda Imran)

Tulis puisi dan lupakan
serupa mendatangi dan meninggalkan
pada keduanya dunia tak tampak, kecuali
serupa kelok bayang separuh batang lidi

yang kau julurkan ke dalam perigi
Tulis puisi dan lupakan. Setiap kata memiliki makna dan puisi berdiri oleh kata. Menulis puisi berarti menyembunyikan makna di balik kata-kata. Lalu lupakan begitu saja. Serupa mendatangi dan meninggalkan mengindikasikan bahwa dalam puisi tidak ada keseragaman makna. Puisi barulah hidup ketika tiap-tiap pembaca memiliki tafsir tersendiri atas puisi. Makna takkan pernah abadi. Larik pada keduanya dunia tak tampak semakin meneguhkan bahwa makna tak berwujud. Ia lahir dari penafsiran masing-masing pembaca. Makna oleh Ahda pun digambarkan lewat larik serupa kelok bayang separuh batang lidi/ yang kau julurkan ke dalam perigi. Apabila lidi dimasukkan separuh ke dalam air tentu akan membias dan membentuk bayangan lain dari lidi dan bayanganya akan menuju ke arah lain. Demikian pula makna pada puisi jika dibaca secara utuh akan membentuk jejak makna baru dari makna kata-kata yang digunakan.

PELAJARAN KETIGA MENULIS PUISI
(Ahda Imran)

Naik ke jenjang kata
yang tak berkejadian tak berkarena

Menggigil kakimu ke puncaknya
serupa Musa menuju Thursina

Naik ke jenjang kata berarti melangkah ke arah puncak (tujuan) dan segala yang memiliki tujuan memiliki muasal/asal-usul. Pada larik yang tak berkejadian tak bersuara kita menemukan hal baru bahwasanya makna tidak selalu dilihat dalam pengertian asal-usul. Toh, AZN: pada mulanya adalah kata bahkan Sutardji telah membebaskan kata dari beban makna. Dalam puisi, hal ini didorong oleh kesadaran penyair memanfaatkan litentia poetica, di mana penyair bebas menyampaikan gagasan dengan gaya tulis sendiri selama puisinya mampu dipertanggungjawabkan. Menggigil kakimu ke puncaknya/serupa Musa menuju Thursnia. Larik tersebut bisa kita cermati dalam mitologi Kristiani, ketika Musa bertemu Tuhan (wujud nyala api) di Gunung Horeb. Musa yang merasa khawatir tidak dapat membebaskan kaumnya ke tanah perjanjian berdoa dan mendapat firman: “Aku adalah Aku”. Kata yang biasa hadir sebagai penanda untuk menunjukkan petanda bisa juga hadir sebagai hanya sebagai penanda. Aku (penanda) adalah Aku (penanda). Jadi, puncak penanda kata “Tuhan” adalah penanda “Tuhan itu sendiri”.

PELAJARAN KEEMPAT MENULIS PUISI
(Ahda Imran)

Kata adalah tubuh-Ku
yang bukan seorang
yang bukan bayang

Hilang dalam kata
temukan darah-Ku
                     
Minumlah!

Bait pertama menggambarkan entitas Kata. –Ku hadir sebagai penanda Kata. Bahwa Kata adalah Kata itu sendiri. Hilang dalam kata/temukan darah-Ku. Kita diajak untuk melebur dalam kata menjadi sebuah makna lain. Ketika Minumlah! dan kita reguk pulah darah-Nya (bercermin pada perjamuan terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya), maka telah bersatu pula kita bersama kata. Jika telah bersatu dengan kata, maka dapat dikatakan bahwa puncak proses pencapaian menulis puisi ialah menjadi puisi.

Kumpulan puisi Pelajaran Menulis Puisi (keempat sajak di atas) sangat menarik untuk dibaca dan dibahas untuk lebih memahami puisi lewat puisi. Bila kita tarik ke ranah yang lebih luas, sajak-sajak di atas menampakkan ideologinya sebagai karya sastra posmodern yang mampu melampaui batas-batas ruang, waktu, seperti dirinya (puisi atau penyair atau pembaca) berada dalam ambang batas percaya atau tidak percaya terhadap makna, kebenaran, Tuhan dengan mengdekonstruksi paham-paham dan prinsip-prinsip hidup era sebelumnya tanpa dibendung sekaligus tanpa menganut suatu paham dan prinsip. Pada akhirnya, seni posmodern mampu merekam keberlangsungan hidup manusia yang penuh keragu-raguan.


Telaga Puisi
Sampai juga perjalanan kita di tempat tujuan. Inilah telaga puisi yang kujanjikan itu. Menyelamlah telanjang bersama kata-kata! Sementara aku berjaga di tepi telaga sambil memainkan bunga padma, sambil menulis puisi.

LANGKAH-LANGKAH MENULIS PUISI

Langkah pertama:
Duduklah.

Langkah kedua:
Duduklah dengan tenang.

Langkah ketiga:
Duduklah dengan tenang di atas batu.

Langkah keempat:
Duduklah dengan tenang di atas batu
yang kelak akan jadi batu nisanmu.

Langkah kelima:
Duduklah dengan tenang di atas batu
yang kelak akan jadi batu nisanmu
sambil membaca.

Langkah keenam:
Duduklah dengan tenang di atas batu
yang kelak akan jadi batu nisanmu
sambil membaca Pramoedya:
“Hidup sungguh sangat sederhana.
Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

Langkah ketujuh dan seterusnya:
Abrakadabra.


(2017)



 Disampaikan pada diskusi rutin Celah-Celah Langit 20 Desember 2018
 Anggota Celah-Celah Langit




Daftar Rujukan:
Imran, Ahda. 2014. Rusa Berbulu Merah. Bandung: Pustaka Jaya
Mahayana, Maman S. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Setiadi, Tia. –Mythopoesis, Urban Pastoral: Suatu Kemungkinan Membaca Rusa Berbulu Merah dalam Rusa Berbulu Merah. Bandung: Pustaka Jaya
Julian, Royyan. Empat Pelajaran Menulis Puisi: Antara Strukturalisme dan Postrukturalisme